26 Maret 2003
“Eka, kapan kita bisa ketemu lagi?” Ayna memandang nanar kekasihnya.
“Aku janji, kita
pasti bertemu lagi. Kamu jangan nangis ya” Eka mengusap air mata gadisnya,
tatapannya sama sendunya dengan Ayna. Setelah bertahun-tahun hidup dilingkungan
yang sama. Selama 3 tahun mereka menggembleng ilmu mereka di sekolah yang sama
kini keduanya harus berpisah, untuk meraih asa masing-masing.
“Eka, boleh aku
meluk kamu?” suara itu terasa menyesakkan hati Eka, tanpa menjawab Eka segera
merengkuh tubuh Ayna.
“Berjanjilah Ay,
cinta ini takkan mati. Berjanjilah, kita akan bertemu lagi dan bahagia bersama.
Berjanjilah kamu gak akan dapat nilai jelek lagi. Berjanjilah, saat kita ketemu
lagi kita berdua sama-sama sukses. Berjanjilah, kamu akan berusaha. Dan
berjanjilah, kamu akan menungguku” rangkaian kalimat itu terus bergulir dibibir
Eka seperti dzikir.
“Aku janji Eka.
Aku berjanji, Aku berjanji, Aku berjanji, Aku berjanji, dan aku berjanji. Aku sayang
kamu” tangis Ayna tak terbendung lagi. Ia membenamkan wajahnya dipelukan Eka.
Harum Eka yang khas seakan membelenggu tubuh Ayna. Jangan berakhir, hentikan
waktunya, jangan biarkan detik itu berjalan. Suruh dia diam. Biarkan aku terus
seperti ini, terus dipelukan Eka, hingga nanti, hingga aku mati. Biarkan aku
seperti ini. Aku bahagia disini, dipelukan kekasihku, dipelukan lelaki yang ku
cintai.
“Ay, ayo
bangun....” perlahan cahaya menusuk pupil mata Ayna. Sosok Zahra sudah duduk
dihadapannya. Beginilah hidup di pondok, nasibnya ya tidur di lantai beralas
tikar. Kamar yang hanya berukuran 4 x 5 meter ini harus di huni oleh 15 orang.
Agak sumpek memang. “Ayo, waktunya sholat subuh” ajak Zahra. Ayna menatap
sekelilingnya, teman-temannya juga beberapa masih pulas, beberapa udah
siap-siap jama’ah subuh.
Ayna dan Zahra pun
menuju masjid pondok untuk jama’ah subuh. Usai shalat Ayna selalu berdo’a “Rabb
yang Maha Baik, ampunilah dosa-dosaku, kedua orang tuaku, dan seluruh umatMu
dimuka bumi ini. Lindungi kami dari bencana dan segala keburukan yang akan
menimpa. Hidupkan kami di bumimu yang damai dan sejahtera. Kokohkan iman kami,
kesabaran kami, dan keikhlasan kami. Rabbku yang sangat kucintai dan
mencintaiku, aku tau Kau mengetahui segala yang ada dalam hati setiap umatMu,
Begitu juga denganku. Rabb, aku merindukannya, merindukan ia yang kucinta.
Rabb, tolong jaga dia, buat dia selalu bahagia. Jangan biarkan dia bersedih.
Apalagi senyumnya hilang. Dia sumber semangatku, Rabb. Buatlah dia bahagia.
Amiin”
“Ay, habis ini ada
kuliah ya?” tanya Zahra. Ayna dengan teliti menyiapkan peralatan kuliah ke
dalam tas. Sedangkan Zahra hanya duduk bersila sambil mengamatinya
“He’emb. Kenapa?”
jawab Ayna, mengumbar senyum
“Nggak, tadi aku
mau minta kamu nemenin aku. Tapi nggak bisa kayaknya” terang Zahra
“Nemenin kemana,
Ra?
“Emb...jadi gini. Kamu
inget nggak sama Kak Ilham?”
“He’em. Inget,
kenapa dia?”
“Dia pengen
ta’arufan sama kamu. Lagian bentar lagi kan kuliah kamu juga selesai, jadi aku
fikir kamu butuh pendamping. Apalagi sejak aku kenal kamu pas pertama kuliah
kamu belum pernah punya hubungan khusus sama ikhwan, padahal kata kamu dulu
pernah punya pacar. Kamu ngerti maksudku kan?”
“Iya, kamu mau
ngenalin aku sama kak Ilham. Tapi alasan kamu lucu, apa hubungannya kuliahku
mau selesai sama ngenalin aku sama kak Ilham?”
“Apa kamu nggak pengen
cari pendamping hidup. Ay?”
“Udah ada”
“Kamu udah punya
pacar?”
“Belum sih, tapi
insyaallah kalo pendamping hidup udah ada calonnya. Hehehe”
“Siapa tuh, Ay?
Kok nggak pernah cerita?”
“Tanya aja sama
Al-Huda. Dia kan Maha Tahu”
“Ikh....Ukhti Ayna
gitu sama Zahra. Ditanya serius juga”
“Aku juga serius
ukhti....lagian Zahra aneh-aneh mau ngenalin Ay sama Kak Ilham. Ay kan baru
umur 21”
“Lha katanya ukhti
mau nikah umur 23. Kalo belum ada calon mau kawin sama siapa coba?
Jangan-jangan sama kambingnya Abah Umar lagi”
“Astagfirullah...ya
nggaklah. Zahra aneh-aneh terus. Udah ah, Ay mau berangkat dulu. Oh iya, do’a
kan Ay ya Ra...semoga Ay bisa sabar”
“Amiin...tapi sabar
buat apa ukhti?”
“Buat ngadepin
kamu. hehehe” Ayna beranjak memakai sepatu sambil terkekeh.
“Yeee...ukhti gitu
ah”
Ayna melangkah
menuju masa depannya. Begitulah biasanya Ayna menyebut tempatnya belajar.
1 tahun selepas
perpisahannya dengan Eka, Ayna udah jarang komunikasi dengan Eka. Hal itu
disebabkan sekolah Ayna adalah boarding school (Sekolah Berasrama) apa lagi
diasrama nggak boleh bawa HP. Dalam 1 bulan hanya 2 kali Ayna bisa komunikasi
sama Eka. Terkadang juga sama sekali tidak karena Eka sibuk dengan organisasi
sekolahnya.
Hari itu tepat
tanggal 26 Maret 2004. Ayna sangat merindukan Eka. Hubungan mereka memang agak
rumit, mereka tak pernah bermesraan seperti pasangan lain, tapi disisi lainnya
hubungan asmara mereka tak putus. Lebih tepatnya Long Distance. Selama 13 bulan
menjalani hubungan itu, Ayna dan Eka sama sekali tak bermasalah, mungkin
kepercayaan mereka pada pasangan masing-masinglah yang berperan penting dalam
hubungan itu.
Hari itu ntah
kenapa Eka nampak jenuh. Tak jelas karena apa. Ayna sudah mencoba untuk
menghibur tapi tetap saja seakan Eka mulai berubah. Hari itu bukan lagi hari
yang sangat dinantikan oleh Eka. Hingga Ayna menyerah, dia tak mampu lagi
mengkondisikan kejanuhan Eka. Ayna fikir mungkin dengan menyuruh Eka istirahat
sejenak akan menjadikan segalanya lebih baik setelah itu. Namun, dia salah.
Tring...Tring...HP Ayna berdering.
“Assalamulaikum”
sapa Ayna ramah
“Wa’alaikumsalam”
balas Eka
“Gimana sekarang,
udah baikan?”
“Mungkin”
“Kamu lagi sakit
ya sayank?”
“Nggak kok. Boleh
nggak aku denger ketawa kamu”
“Kamu kok aneh
sih...tapi baiklah. Hahaha” Ayna tertawa renyah dengan khasnya yang Eka sukai
“Kamu tetap sama
ya kayak dulu. Aku harap hati kamu juga, nggak ompong kayak punyaku”
“Hahaha...yang
ompong itu gigi Sayang. Bukan hati. Kamu tetep konyol deh”
“Hehehe” Eka hanya
terkekeh
“Kamu lagi sakit
gigi ya. Kok lemes gitu”
“Nggak. Aku sayang
kamu Ayna”
“Aku juga. Ayna
sayang Eka banget”
Tuuutt..tuut...tiba-tiba
telfon mati. Tak lama setelah itu SMS masuk ke HP Ayna.
From: Eka “Aynaku
sayang. Kamu tetap secerah dahulu, cahayamu tak pudar meski telah satu tahun
rindu antara kita tak kunjung terobati. Aku senang ternyata kamu memenuhi janji
kita. Kamu tetap berusaha menjaga api cinta kita agar tak mati. Ayna yang
kucintai, maafkan aku selalu goreskan luka dihatimu, aku tau kau sudah terlalu
menderita dengan cinta ini. Kau terlalu memaksakan diri untuk bertahan. Mulai
sekarang takkan ku gores lagi luka itu, tapi maaf jika itu menyakitkan. Ayna kekasih
hatiku, percayalah aku hanya ingin kamu bahagia, bahagia bersama masa depan
cerahmu. Ayna yang baik, mulai sekarang kamu bukan pacarku, aku ingin
mengakhiri hubungan kita, cukup sebatas teman saja dan tak lebih dari itu.
Berjanjilah Ay, kamu akan selalu
bahagia, tetap tersenyum, dan satu lagi tolong jangan kembalikan semua
barang-barang yang telah kuberikan padamu. Eka sayang kamu”
Tetes demi
tetes air mata menukik di pipi lembutnya. Air mata itu segera ia usap, Ayna
mengeluarkan sebuah kalung dari tasnya “Udah 7 tahun, Ka. Aku harap kamu selalu
bahagia ya” gumam Ayna.
“Neng, mau turun
mana?” tanya kenek bus
“Oh...turun di
depan aja mas”
Begitu menuruni bus, Ayna berjalan lagi menuju kampusnya yang
berjarak beberapa meter lagi. Dengan kesedihan yang tak pernah meninggalkannya
Ayna melangkah pasti menjemput masa depannya yang cerah, cita-citanya sejak
dahulu hampir berhasil untuk dicapai, menjadi seorang akuntan pemerintah.
Terdengar menggelikan ditelinga sang ayah, karena memang ayahnya tak pernah
mendukungnya dalam masalah jurusan yang ia pilih. Alasannya juga konyol tapi
cukup membuat Ayna makin terbangun, ayahnya berfikir jika dia menjadi pegawai
akuntan negara yang terjadi hanya akan masalah “Korupsi”, memang dimata
sebagian orang pejabat keuangan adalah momok yang memalukan, tugasnya mulia,
gajinya juga lumayan, tapi prestasinya berhasil menembus kantor KPK dan LAPAS.
Sangat ironis, tentu saja Ayna tak ingin menyabet prestasi yang sama, cukup
atasan-atasannya terdahulu. Ayna ingin membantu orang-orang pinggiran dan
anak-anak yang terlantar. Semoga bisa terjadi, aminnn.
“Ay, gimana
skripsi kamu?” Ratna menghampiri
“Alhamdulillah,
udah mulai ngerjain. Nih mau konsultasi ke dosen. Kamu sendiri gimana?”
“Judul aja masih
nyari. Lagi mampet” keluh Ratna
“Semangat Na.
Pasti bisa, ke masjid aja gih. Sholat Dhuha, siapa tau tiba-tiba dapat ide”
“Emb...bukannya
nggak mau Ay. Tapi ada janji sama Joe. Hehehe”
Ayna hanya tersenyum. Mahfum sama temannya, nggak salah orang-orang
bilang islam KTP. Itu emang realita dan bukan sekedar isapan jempol. Untung aja
Ayna masih di tempatin di pondok. Seenggaknya dia selalu inget sama Tuhannya.
Kegiatan hari ini
mau konsul masalah skripsi ke dosen, terus ada kelas sampai jam 11. Habis itu
acara bebas. Usai kelas Ayna memilih jalan-jalan menelusuri jalan kampus, kali
aja dapat pencerahan sejak kecil Ayna memang sudah hoby jalan-jalan tapi dia
tak berminat ikut kegiatan semacam pecinta alam, selain dilarang juga karena
Ayna suka sesak pada jantungnya bila terlalu kelelahan. Kalo terlalu kecapekan
Ayna langsung lemas, bahkan pingsan. Tapi nggak parah-parah banget, hanya nggak
boleh terlalu kecapekan.
“Assalamualaikum
Ayna” sapa Erika dan Robi
“Waalaikumsalam”
“Kok sendiri Ay?
Mau kemana?” tanya Robi
“Jalan-jalan aja,
udah nggak ada kelas. Kalian sendiri mau kemana?”
“Mau ke bazarnya
anak kedokteran, mau ikut?”
“Emang ada acara
apa?”
“Nggak tau juga.
Kata temenku sih bazar gitu. Ikut yuk” ajak Robi
“Kamu ikut yah Ay.
Nggak enak diliatin orang-orang. Bisa jadi fitnah kalo aku sama Robi aja” pinta
Erika
“Loh, bukannya emang
kenyataan. Kok fitnah sih” sahut Ayna
“Ayo ah” Erika
menarik tangan Ayna. Mereka bertiga pun menuju bazaar di lapangan universitas.
Suasana sangat
ramai siang itu. Ada berbagai stand penjual makanan, buku, accecoris, dll. Ayna
dan Erika sibuk mengamati setiap accesoris yang dipajang, mungkin aja ada
pernak-pernik atau bros jilbab yang bagus untuk keloksi mereka.
“Ay, Rik...udah
ya, kita kesana. Aku mau kenalin kalian sama temanku SMA dulu” ajak Robi
Ayna dan Erika mengikuti langkah Robi. Hingga ke sebuah stand
“Healt Coffe”. Robi clingukan mencari-cari temannya. Tak lama setelah itu, ia
menemukannya. Kawan lamanya tersenyum sumringah menghampiri Robi.
“Lama nggak
ketemu, makin kurus aja kamu masuk kedokteran. Pasti pas mata kuliah gizi kamu
bolos ya” canda Robi
“Hahaha...bisa aja
kamu” sahut teman Robi itu. Dia melirik kedua gadis yang berada dibelakang
Robi, mereka tampak sedang membicarakan hal yang menyenangkan. Terlihat dari
raut wajah mereka yang tersenyum dengan cerah. “Itu siapa, Bi?”
“Oh iya...Rik, Ay.
Ini temenku waktu aku SMA dulu, Eka. Nah, Eka ini temenku dikampus Erika dan
Ayna”
Saat Robi
memanggil nama “Ay”, Ayna memalingkan wajah kearah Robi. Betapa ini menjadi
suatu kejutan dan keajaiban untuknya. Sosok yang 7 tahun hanya ada dalam
khayalannya kini menjadi sosok yang nyata.
Rasa yang sama
dirasakan oleh Eka. Hatinya bergetar hebat seakan ingin menembus dada dan
meloncat bebas dari tanah sampai ke langit. Gadis yang ada dihadapannya, Eka
begitu sulit untuk mengungkapkan dengan kata-kata.
“Woi....kok kalian
sama-sama bengong?” Robi melambaikan tangan di depan wajah Eka dan Ayna
“Eh iya, hai...Ayna”
ucap Eka gugup
“Emb...Hai juga
Eka” balas Ayna sama gugupnya
“Ok. Disini jual
makanan kan? Aku lapar nih” tanya Robi
“Iya. Kalian duduk
aja disini dulu. Aku panggilin pelayannya” Eka segera berlalu
Tak lama Eka kembali bersama seorang gadis “Hai, aku Nisa. Kalian
mau pesan apa?” sapaan itu terdengar renyah. Setelah ketiganya memesan Nisa
segera berlalu, sedangkan Eka mengambil tempat duduk di samping Robi. Obrolan
pun bergulir di meja itu, terkadang lirikan Eka mengarah pada Ayna, begitu pula
sebaliknya.
“Pesanan
datang....” Nisa menyajikan makanan di meja dengan riang. Sambil meletakkan
satu per satu piring di meja. Dia juga menjelaskan tiap-tiap manfaat dari
makanan tersebut. Sejenak dia melirik jam tangannya. “Ka, kamu mau makan apa?”
tanya Nia pada Eka
“Emb...nanti aja
deh”
“Nggak boleh.
Nggak baik buat lambung kamu, nanti maag kamu kambuh. Kalo gitu lontong sate
ayam ya...” Nisa menyarankan meski sebenarnya memaksa
“Kenapa nggak
kambing aja, Sa? Enakan lontong sate kambing” komentar Robi
“Nggak bagus buat
darah tinggi Eka. Ok, aku siapin dulu yah” Nisa beranjak ke belakang lagi
“Dia perhatian
banget sama kamu? Pacar kamu?” tanya Robi. Pertanyaan itu juga sama terucap di benak
Ayna. Dia pun menatap kearah Eka sewaktu pertanyaan itu diutarakan oleh Robi.
Berharap jawaban dari Eka.
Eka melirik
sekilas kearah Ayna yang menatapnya. Dia bingung harus berucap apa, tapi inilah
kenyataannya. Eka menganggukkan kepala pelan. Segara dia melirik Ayna melihat
apa responnya. Tapi Ayna sudah menunduk, yang terlihat hanya pipinya yang putih
dan halus.
Hati Ayna rasanya
tak karuan. Apa yang harus dia lakukan pada semuanya? Penantiannya selama 7
tahun.
Usai dari acara
bazar, Ayna hanya diam dipondok. Di sepertiga malam dia melaksanakan shalat
tahajud. “Rabb, harus bagaimana aku? Dia semangatku selama ini, dia yang buatku
hingga sejauh ini” tangis pecah, Ayna terdiam hingga dia mendengar ucapan
hatinya “Aku harus kuat, aku harus tegar. Sudah sejauh ini. Semangatku memang
dia tapi tujuanku bukan dia. Masih ada yang lebih dari dia” Ayna tersenyum dan
mulai bangkit lagi.
5 bulan kemudian...
Hari ini hari ke 7
Ayna bekerja di sebuah kantor kecamatan. Tugasnya sebagai bendahara I, daerah
tempatnya bekerja masih tergolong terpencil. Sarana dan prasarana di daerahnya
kurang maksimal, pendidikan untuk warga miskin juga masih minim. Dengan segenap
tekadnya dahulu, dan bantuan pihak kecamatan terutama Mas Dika. Ayna berhasil
membangun tempat belajar kecil-kecilan untuk warga yang tidak mampu, buku-buku
belajar dia peroleh dari sumbangan teman-temannya.
“Mbak Ay. Di
daerah kita ada Bu dokter baru” ucap Mas Dika saat Ayna sedang melakukan
aktivitas sehari-harinya sebagai bendahara.
“Oh ya. Siapa
Mas?” sahut Ayna tertarik dengan informasi dari Mas Dika
“Namanya Mbak Nisa.
Dia lulusan dari Universitas yang sama dengan Mbak Ayna”
Ayna terdiam. Apa mungkin Nisa pacar Eka dulu?
“Mbak kenal?” Mas
Dika bingung melihat ekspresi Ayna
“Kayaknya mas,
tapi nggak tau juga”
“Owh...yaudah,
nanti habis ini kita ke puskesmas aja mbak”
“Boleh”
Seperti yang
dijanjikan, Ayna, Dika, Risma, dan Abid berangkat ke puskesmas. Benar dugaan
Ayna, dia Nia pacar Eka. Nia memang cantik, rambutnya panjang digulung rapi,
badannya ramping, wajahnya manis dan putih langsat. Pantas Eka memilihnya,
pilihan yang tepat memang. Ayna tersenyum melihat seorang anak yang menangis
setelah disuntik, Ayna segera menghampirinya.
“Boleh, saya
bantu?” Ayna menawarkan diri
Nia terdiam dan tersenyum mengetahui itu adalah Ayna. “Tentu”. Ayna
segera menggendong anak itu dan menimang-nimangnya penuh kasih sayang.
“Aku nggak nyangka
kita bisa satu daerah” ucap Nisa. Pemandangan khas desa yang masih hijau
memanjakan matanya siang itu. Usai praktek, Ayna mengajak Nia jalan-jalan di
sekitar desa.
“Iya, aku juga.
Nggak nyangka bisa ketemu kamu disini” Ayna tersenyum
“Oh iya, kata Mas
Dika, kamu bikin sekolah kecil untuk orang yang nggak mampu ya? Aku pengen
lihat”
“Boleh. Nanti
mulainya jam 4 sampai jam 8. Kamu ke tempat tinggalku aja”
“OK. Siap bu Ayna”keduanya
terkekeh
Sejak saat itu
Nisa juga membantu mengajar disekolah kecil milik Ayna. Suasana semakin
menyenangkan.
Sebuah mobil Rush
putih berhenti di depan rumah yang ditinggali Ayna sekaligus tempatnya
mengajar. Ayna, Nisa, dan murid-muridnya menengok siapa yang datang. Beberapa
murid terkagum-kagum melihat mobil mewah itu.
“Hai...” Nisa
berjalan menuju mobil itu, wajahnya tampak riang. Seorang pria berkacamata
keluar dari mobil menyambut gadisnya. Wajahnya yang putih tampak tersenyum.
keduanya nampak senang dengan pertemuan itu.
Ayna terdiam
memalingkan wajahnya, matanya serasa panas ingin menangis, tapi itu tak mungkin
ia lakukan sekarang. “Ayna” panggil Nisa sambil melambai memintanya datang.
Ayna tersenyum dan
beranjak dari tempat duduknya, langkahnya pasti namun hatinya terasa berat
menghadapi. “Lihat nih yang dibawa Eka. Buku-buku bekas dan baju-baju.
Murid-murid kita pasti seneng banget” suara Nisa begitu riang
“Iya. Emb...Makasih
ya Eka” ucap Ayna pada Eka, sembari tersenyum
Eka terdiam melihat senyum itu. Jantungnya terasa bergetar, senyum
7 tahun yang lalu. “Eka, Ayna bilang terimaksih” Nisa mengusik lamunan Eka
“Eh Iya. Sama-sama
Ay” Eka menyahut. Mereka bertiga pun mengangkat beberapa kardus dari dalam
bagasi mobil. Murid-murid Ayna nampak riang mendapat buku dan baju baru, meski
pun bekas.
Ayna serius menatap
layar laptopnya, mengamati hasil kerjanya. Di seberangnya Mas Dika sibuk
mengamati Ayna. Dia bingung harus mulai dari mana, tapi dia harus memulai.
“Mbak Ay, boleh
kita berbincang di luar?”
“Sebentar ya Mas”
“Kalo gitu saya
tunggu di luar”
“Iya”
Setelah merasa perkerjaannya selesai dengan baik, Ayna keluar
menyusul Mas Dika yang sudah duduk di teras kantor.
“Ada apa Mas?”
“Mbak Ayna duduk
aja dulu” ucap Mas Dika nampak gugup. Ayna menuruti kata Mas Dika.
“Gini Ay...ada
yang mau aku tanyain ke kamu”
Ayna tercengang, nggak biasanya Mas Dika memanggilnya tanpa
embel-embel ‘Mbak’, meski umur Mas Dika 2 tahun lebih tua tapi dia selalu menghormati
perempuan dengan memanggil seperti itu. “Tanya apa Mas?”
“Ayna udah....udah
punya calon pendamping hidup apa belum?”
Ayna makin tercengang tapi dia harus tenang, Ayna tersenyum “Belum,
Mas. Kenapa?”
Mas Dika tersenyum lega, kini dia makin percaya diri “Begini, boleh
nggak Mas Dika nyalon jadi pendamping hidupmu. Ayna nggak perlu jawab sekarang,
Mas tau Ayna butuh waktu”
Ayna terdiam berfikir, “Ay jawab sekarang aja ya Mas”
Mas Dika kaget, tapi akhirnya dia mengangguk
“Maafkan Ay Mas.
Ay, nggak bisa menerima tawaran Mas”
“Kenapa Ay?”
“Ay memang belum
ada calon, tapi Ay sedang menunggu seseorang. Ay harap Mas Dika mengerti” Ayna
beranjak dari tempat duduknya
Setelah duduk di
kursi dinasnya, Ayna membuka HP. Mas Dika lelaki yang sekian kalinya melamar
Ayna. Tapi tetap saja Ayna belum merasa cocok. Bahkan Ayah Ayna sudah sangat
marah, tekanan Ayna tak terlalu mudah. kenapa aku terus menunggu Eka? Sudah
jelas dia kekasih Nisa. Ayah udah berkali-kali murka padaku karena terus
menolak lamaran, sedangkan Eka yang ku tunggu kerap datang menjenguk Nisa.
Menyakitkan melihatnya. Semua masalah itu membuat dada Ayna makin sering
sesak.
“Assalamualaikum”
seru seorang pemuda diambang pintu tempat Ayna mengajar, hari ini Nisa pulang
kampung, Ayna pun harus mengajar sendirian.
“Waalaikumsalam”
Ayna melihat ke sumber suara, sosok Eka nampak berada disana. Ayna terdiam antara
bingung dan kaget.
“Boleh aku masuk?”
“Silahkan” ucap
Ayna berusaha ramah meski agak gugup. Eka berjalan mendekati murid-murid yang
sedang belajar bahasa Inggris. Eka tersenyum, dahulu Ayna sangat payah pada
pelajaran bahasa inggris.
Usai mengajar,
Ayna dan Eka ngobrol di teras.
“Hari ini kan Nisa
pulang kampung, kamu gak tau?” tanya Ayna
“Tau kok” jawab
Eka sambil menatap sebuah bintang yang besar dan begitu terang di bujur barat.
“Terus kamu
ngapain kesini?”
“Aku...kangen sama
kamu” tatapan Eka lagsung berpaling ke Ayna.
Ayna tercekat kaget, hatinya berdebar bahagia. Pipinya yang putih
perlahan memerah. Hening...
“Aku udah putus
sama Nisa. Ay”
Ayna terbelalak kaget. Yang benar aja. “Kenapa, Ka. Apa ada masalah
yang serius?”
“Nggak kok. Kita
emang udah lama ngerasa nggak cocok. Cuma dipaksain aja”
“Makasih ya udah
nunggu aku selama 7 tahun. Aku kagum Ay sama kamu, bisa nunggu aku selama itu.
Padahal aku yang cowok aja nggak sanggup. Mala cerita semuanya”
“Jangan meremehkan
cewek kalo gitu”
“Hehehehe. Ay”
tatapan Eka mulai tampak serius “I still loving you”
Ayna tersenyum ramah. “Me too, larger than you”
“Cie...yang udah
pinter bahasa inggris. Jadi aku nggak perlu nyontekin kamu lagi nih” keduanya
tertawa bahagia.
Sejak saat itu
Ayna dan Eka kembali dekat. Penantian Ayna tak lagi terbuang sia-sia, begitu
pula Eka, dia baru menyadari selama ini dia juga masih mencintai Ayna. Mereka
memang tak pacaran, tapi mereka menjalin kedekatan untuk memantapkan perasaan
masing-masing. Kali ini Eka dan Ayna sudah berkomitmen untuk membawa hubungan
mereka ke pelaminan. Orang tua Eka sudah merestui hubungannya dengan Ayna,
hubungan Ayna dengan calon mertua pun begitu harmonis. Namun orang tua Ayna
sendiri...
“Pokok Ayah nggak
setuju kalo kamu nikah sama anak DPR. Kamu putuskan dia, jika tidak kamu pergi
aja dari rumah ini”
Ayna menekuk lututnya dan jatuh bersujud pada Ayahnya. “Yah, sejak
kecil memang Ay nakal, Ay yang palin bandel dirumah, tapi Ay tak pernah minta
apa pun ke Ayah. Ayah tidak membelikan HP Ay kayak Kak Zidan waktu Ay pertama
masuk MTs, Ay nggak marah. Ayah tidak membelikan Ay motor waktu Ay di MA
seperti Mbak Nur dulu. Ay diam, Ay tidak minta meski Ay sangat butuh. Ay tidak
minta uang Ayah waktu Ay masuk perguruan tinggi, bahkan sepeser saku tiap bulan
pun Ay tidak minta” Ayna terdiam sesaat, dadanya serasa sesak luar biasa
mengingat luka-luka lamanya, menghadapi ayah yang egois membuat Ayna semakin
kritis dan tegar menghadapi hidupnya. Ayna mengumpulkan nafas menahan segala
sesak “Sekarang, Ay Cuma mau minta satu hal Ayah. Restui hubungan Ay sama Eka,
Ay minta kebahagiaan dari Ayah, Ay mohon Yah...biarkan Ay bahagia, jangan
renggut kebahagiaan Ay”
“Sudah, Nak...Ayo
berdiri” Bunda Ayna membopong Ay untuk berdiri. Tangis Ay pecah, dia terus
memohon dengan nelangsa.
“Jika itu yang
kamu mau....Ayah...merestui hubungan kalian. Tapi Ayah tidak akan memberi
sepeser pun untuk biaya pernikahan kalian” suara itu bergema di telinga Ayna,
rasanya bahagia merasuk diseluruh tubuh Ayna. Hingga semuanya gelap, Ayna
pingsan di pelukan bunda.
Mata Ayna perlahan
terbuka, tubuhnya lemah. Setelah pingsan dirumah Ayna segera di bawa ke rumah
sakit, denyut jantung Ayna sangat lemah bahkan jika terlambat bisa-bisa
berhenti. Keluarga Ayna sangat khawatir, begitu juga Eka dan keluarganya.
“Ayah mana, Nda?”
tanya Ayna pada sang Bunda
“Bentar” Bunda
Ayna keluar ruangan. Tak lama kemudian datang lagi bersama sang Ayah
Ayna tersenyum lembut memandang sang Ayah “Kenapa kamu nggak cerita
ke Ayah sama Bunda kalo jantungmu bermasalah? Sejak kapan jantungmu lemah gini,
Ay?” tanya laki-laki itu tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
Ayna tersenyum senang, “Ayah khawatir ya, Ay juga nggak begitu
tahu. Mungkin sejak MA Yah. Ayah tenang aja ya... Setelah ini Ay janji gak akan
ngrepotin Ayah, bikin susah Ayah, dan bikin Ayah kecewa. Ay janji”
Ayah Ayna tersenyum halus “Eka pengen ketemu kamu. Dia jauh lebih
khawatir dari ayah dan Bunda” Ayah Ay beranjak, kemudian kembali membawa Eka.
Ntah kenapa Ay merasa hari itu Eka terlihat sangat tampan bagi
Ayna, Eka mengenakan kemeja biru cerah, rambutnya rapi, kacamatanya juga
elegan, dengan meneteng jas putih layaknya dokter muda. “Dok, bisa senyum
nggak?” Ucap Ayna lemah
Eka tersentak dan tersenyum ramah, “Gimana keadaanmu sekarang?”
“Udah baikan. Kamu
tenang aja. Terus kata dokter tentang kesehatanku gimana?” tanya Ayna pada Eka.
Sementara Eka menata hati, dan mempersiapkan kalimat untuk memberi tahu Ayna
bahwa jantung Ayna sudah kronis, besok harus dilakukan operasi pada jantung
Ayna.“Istirahatlah, aku akan menjagamu. OK” kata Eka. Ayna mengangguk dan tak
lama terlelap.
Ayna berada ntah
dimana, tapi tempat itu begitu indah dengan sentuhan taman lili putih. Pohon
yang hijau lebat penuh dengan buah-buahan. Ayna melangkahkan kakinya, tak lama
dia melihat sosok yang taka sing. “Assalamualaikum. Ini Koko?”
“Waalaikumsalam.
Iya...kamu Ayna? Ya Allah...kok bisa ketemu disini. Kamu ngapain nduk disini?”
“Ay juga nggak
tahu, Ko. Tiba-tiba Ay disini” Setelah saling bercengkeramah, Koko mengajak Ay
berjalan-jalan berkeliling taman. Dia begitu bahagia disana, ntah kenapa Ayna
merasa sangat tentram. Hingga suara Adzan mambangunkannya.
Ayna menatap
sekeliling, Eka tertidur di kursi sampingnya, Bunda tertidur di sofa, sedangkan
Ayah baru keluar dari kamar mandi. “Ay, kamu udah bangun?” tanya Ayah. Ayna
hanya mengangguk, ayanya pun tersenyum dan melangkah keluar. Melihat ayahnya
mau sholat subuh Ayna memaksakan diri untuk duduk, suara-suara gerakan Ayna
membuat Eka dan Bundanya terbangun. “Kamu mau ngapain Ay?” tanya Eka membantu
Ay duduk.
“Eka, mau nolongin
Ay?” Ayna tersenyum memohon, membuat Eka tak mampu menolak dan mengangguk. “Ay,
mau sholat subuh. Eka maukan jadi imam buat, Ay?” Eka tercengang, lalu menatap
Bunda Ayna yang masih duduk di sofa, bunda Ayna tersenyum dan mengangguk.
“Iya. Eka mau jadi
Imam buat Ay” mendengar jawaban Eka, Ayna tersenyum cerah. Eka mebantu Ayna
duduk dikursi roda, lalu membawanya ke mushola. Setelah itu Ayna berwudhu,
memakai mukena dan menunggu Eka. Tak lama Eka datang, awalnya Eka melarang Ayna
sholat berdiri, tapi Ayna memaksa dan Eka hanya bisa berharap tak akan terjadi
apa-apa pada Ayna. Keduanya sholat begitu khusuk menghada sang Khaliq.
Usai sholat
keduanya berdoa kepada sang Maha Mengabulkan Doa. Eka menghadap ke belakang,
“Eka, boleh Ay cium tangannya?” sekali lagi Eka benar-benar tercengang, namun
dia tak ingin mengecewakan Ayna yang sedang sakit, Eka pun mengangguk. Ayna
tersenyum memegang tangan Eka dengan tangannya yang masih berbalut kain mukena,
lalu meletakkannya di kepalanya. “Maafin Ay ya Ka, kalo Ay udah salah sama Eka.
Eka kalo nanti operasi Ay gagal, jangan pernah nangis. 7 tahun lalu Eka yang
nyuruh Ay janji buat jaga cinta kita. Ay udah melakukannya, Ay udah jaga cinta
kita selama 7 tahun lebih. Ay menepati janji Ay. Sekarang Eka yang harus janji,
yang pertama Eka harus bahagia, yang kedua jangan nagisin Ay kalo Ay dipanggil
sama Rabbi, yang ketiga Eka harus menemukan pengganti Ay yang baik” Ay
mengangkat wajahnya, air mata Eka sudah membasahi pipi, tenggorokannya tercekat
tak mampu menjawab apa pun. Dia tak mau kehilangan Ayna, segera Eka merengkuh
Ayna di pelukannya.
“Maafin aku
Ay...Maafin Eka...Eka udah nyia-nyiain kamu selama 7 tahun. Maafin Eka udah
munafik, Maafin Eka nggak nepatin janji Eka. Maafin Eka Ay....” tangis Eka
pecah dipelukan Ayna.
Pukul 9 Ayna
bersiap-siap untuk operasi. Sebelum operasi Ayna sangat cerewet mengingatkan
berbagai hal pada keluarganya. Nggak biasanya Ayna bertingkah seperti itu.
Selama 5 jam lebih
Eka dan keluarga Ayna menunggui di depan ruang operasi. Ayah Ayna melihat kearah
Eka yang terus-terusan berdzikir di tempat duduknya. Kini dia mengerti kenapa
Ayna begitu ngotot ingin meraih kebahagiaannya dengan Eka. Ternyata pilihan
Ayna memang benar, bahkan sangat benar. Ekalah
kebahagiaan yang tepat untuk Ayna, kini di benak Ayah Ayna hanyalah untaian doa
pada Sang Pemberi Nikmat untuk menyembuhkan Ayna, dan memberikan kebahagiaan
bagi Ayna.
Seorang dokter
keluar dari ruang operasi. Segera Eka dan keluarga Ayna mendekatinya. Raut
wajah dokter itu tak bisa diartikan, tapi lebih menyiratkan akan kekeceawaan “Orang
tua Ayna?”
“Saya dok” ucap
Ayah Ayna. “Bagaimana dengan anak saya, dia selamatkan dok, Ayna sembuh kan?”
“Maaf sekali Bapak
dan Ibu. Dengan sangat menyesal, Jantung Ayna sudah sangat lemah. Kami tidak
bisa menyelamatkan anak bapak dan ibu” keterangan dari dokter itu bagaikan
sambaran petir. Ini nggak mungkin. Tapi Allah sudah berkehendak, manusia hanya
bisa menerima.
Eka menatap wajah
Ayna yang disemayamkan di rumah duka sebelum dimakamkan. Wajah Ayna terlihat
putih bersih, pipinya yang imut menggambarkan sosoknya yang periang, senyum
ceria itu adalah senyum terakhir dibibir Ayna. Senyum indah dan murah yang tak
akan lagi diumbar disetiap jalan, senyum itu tak akan lagi mewarnai setiap
langkah dan jalan orang-orang disekitar Ayna.
Tamat
SINOPSIS BUKU - Chairul
Tandjung Si Anak Singkong
Bung CT merupakan salah satu tokoh muda yang sukses membangun komunitas
bisnisnya, bukan berangkat dari sesuatu yang sudah besar. Perjuangannya
dalam membangun apa yang telah dicapainya sampai saat ini tidak lepas
dari kepimpinan dan visi yang dimilikinya dalam ikut serta membangun
negara ini. Buku ini menceritakan secara rinci perjuangannya itu.
Djoko Suyanto, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Kabinet
Indonesia Bersatu II
"The story of Chairul Tanjung's rags-to-riches rise to become one of
Indonesia's most prominent and well-respected businessmen is both
endearing and inspiring."
"Pak Chairul's ability to succeed in today's Indonesia based on little
more than hard work, loyalty and a keen eye for business opportunity
will give heart to he up-and-coming generation of Indonesia
entrepreneurs."
Adam Schwarz, Author, A Nation in Waiting: Indonesia's Search for
Stability
Sosok CT mengingatkan konsep filosofis "dari tiada menjadi ada". Di
tangan CT, konsep itu menjadi riil. Berkat ketekunan dan kerja kerasnya,
CT berhasil menciptakan sekian usaha baru yang bermanfaat bagi dirinya,
keluarganya, dan banyak orang. Di antaranya menciptakan lapangan kerja
bagi lebih dari 75.000 karyawan dan mengharumkan nama Indonesia di mata
Internasional.
Jakob Oetama, Pemimpin Umum Harian Kompas
Chairul memiliki idealisme bahwa perusahaan lokal pun bisa menjadi
perusahaan yang bisa bersinergi dengan perusahaan-perusahaan
multinasional. Ia tidak menutup diri untuk bekerja sama dengan
perusahaan multinasional dari luar negeri. Baginya, ini bukan upaya
menjual negara. Akan tetapi, ini merupakan upaya perusahaan nasional
Indonesia bisa berdiri sendiri, dan menjadi tuan rumah di negeri
sendiri. Hal ini patut diapresiasi agar Indonesia dapat bersaing di
kancah dunia. Resapi secara mendalam buku ini, dan Anda akan memahami
prinsipnya dalam menjalankan usahanya.
Soekarwo, Gubernur Jawa Timur
Negeri kita telah banyak melahirkan putra terbaik, yang karyanya
merupakan manifestasi dari kecintaan kepada negerinya. Sedikit berbeda
dari yang lainnya, kecintaan CT pada Indonesia selalu diwujudkan dalam
kerja keras dan kerja nyata, yang dapat juga dinikmati oleh masyarakat
luas. Pemikiran-pemikirannya dapat menjadi mercusuar bagi generasi muda
yang memiliki hasrat dan mimpi yang sama.
Tantowi Yahya, Artis, Anggota DPR RI
Harap Cantumkan Sumber web Ini Jika Anda Copas: http://www.sik-asik.com/2012/07/sinopsis-buku-chairul-tanjung-si-anak.html
Copyright www.sik-asik.com Under Common Share Alike Atribution
Harap Cantumkan Sumber web Ini Jika Anda Copas: http://www.sik-asik.com/2012/07/sinopsis-buku-chairul-tanjung-si-anak.html
Copyright www.sik-asik.com Under Common Share Alike Atribution
4 komentar:
bagus ceritanya..tapi sad ending T_T. Itu kok ceritanya dobel??
like
@rika amalia:
maksud.e 2?
liaten, ceritanya ada 2
Posting Komentar