Friend be Love




               Menyukai sahabat sendiri, apa salahnya? Emang nggak salah, apalagi kalo sang sahabat juga merasakan hal yang sama. Seperti sebuah cerita gadis tentang sahabatnya.
            Aku memiliki seorang sahabat cowok yang usianya nggak beda jauh dariku, kami dekat sejak 3 tahun yang lalu karena perkenalan disebuah layanan chatting online. Dia adalah orang yang paling suka aku curhatin tentang pacarku, karena dia itu selalu nggak ambil pusing sama masalah cewek terkadang juga dia Cuma menanggapi dengan jawaban “iya, owh, terus?, sabar aja, cuek aja”, cuek banget kan? Tapi dia pendengar yang sangat baik, setiap kali aku bercerita tentang sesuatu hal yang udah 3 kali atau lebih dia sudah pernah mendengar cerita itu dia sama sekali nggak ngeluh.
            Sayangnya cueknya dia berakhir ketika hubunganku dengan pacarku retak, semakin hubunganku dan pacarku memburuk semakin dia perhatian semakin sering pula dia bilang, “Udahlah, pacar kamu tuh nggak serius. Dia itu suka sama kamu Cuma angin-anginan pas kalo lagi mood aja. Putusin aja gih”, dan semakin sering pula aku ngambek kalo dia bilang kayak gitu. Hingga akhirnya aku menuruti apa nasehatnya untuk memutuskan pacarku. Selama menjadi jomblo sahabatku itulah yang selalu nemenin aku kemana-mana.
            Seperti waktu aku nonton untuk pertama kali sama dia, saat kami akan menyeberang jalan, tiba-tiba dia mengulurkan tangannya ke arahku untuk mengajak bergandeng tangan,tapi dengan senyuman ku rengkuh lengannya dan kami pun menyeberang bersama. Film yang kita tonton adalah action eropa, sesuai dengan pilihannya, jujur aja aku nggak terlalu suka film action karena aku nggak suka kekerasan, jadi pas aktornya pada tawuran aku lebih milih menutup mataku dengan tangan. Aku fikir dia cuek aja sama aku yang dari tadi ketakutan karena adegan kekerasan dan sound yang keras, tapi aku salah, dia menarik kedua tanganku dan menggenggamnya erat-erat, “Nggak usah takut, aku ada disini” ucapnya halus dengan senyuman, lalu pandangannya beralih lagi kelayar lebar. Aku tak takut lagi, tapi speechless dengan genggaman tangan dia yang makin erat. “AAAAA” teriakan dari penonton lain membuatku kaget sekaligus takut segera bersembunyi di balik bahunya, wangi tubuhnya membuatku sadar kalau apa yang kulakukan adalah salah, saat aku akan kembali ke posisi semula tangannya mengarahkan kepalaku untuk bersandar di pundaknya.
            Selama di rumah aku terus memikirkan apa yang terjadi tadi, “Dalam sejarah hubunganku sama dia tuh nggak ada yang namanya adegan romantis antara kami. Apa aku suka dia? Nggak boleh, dia Cuma sahabatku, dan nggak akan lebih dari itu. Titik” gumamku lalu segera menutup wajahku dengan bantal.
            “Kita mau kemana?” tanyaku padanya saat hari minggu.
            “Jalan-jalan aja naik gunung, yuk” jawabnya dengan sebuah uluran tangan.
            “Nggak, jangan gitu, kita Cuma sahabat dan akan tetap begitu. Sahabat nggak baik gandengan tangan” ucapku melangkah mendauluinya.
            Dia menatapku aneh dan hanya mengangkat kedua bahu lalu melangkah di belakangku.
            Sebulan kemudian ...
            “Lihat banner di perempatan nggak?” tanyanya di telefon siang itu.
            “Lihat, kenapa?” jawabku.
            “Kita kesana yuk malam ini, aku jemput, OK” dan telfon pun mati.
            Malam harinya sampailah kita disebuah pasar malam, wajahnya tampak cerah dan bersemangat. “Senang banget sih” komentarku berjalan disampingnya.
            “Iyalah, aku belum pernah tau ketempat kayak gini”
            “HA? Masak?”
            “Iya, eh itu apa?”
            “Permen kapas, kamu mau beli?”
            “Enak nggak?”
            “Manis” jawabku singkat. Dengan semangat dia segera menarik tanganku ke penjual permen kapas.
            “Yang enak warna apa?” tanyanya padaku.
            “Putih” sahutku menunjuk permen kapas warna putih.
            “Aku baru tau kalo ini rasanya enak” komentarnya dengan lahap memakan permen kapasnya, “Nih” ucapnya mencoba menyuapiku, tanganku pun reflek akan mengambil potongan permen kapas di tangannya, tapi dia mencegah dan bersi keras ingin menyuapi, aku pun menurutinya. “Kok cemberut aja sih?” tanyanya.
            “Dingin tau”
            Dengan telaten dia memakaikan jaketnya padaku membuatku terdiam, “Pakai jaketku aja” ucapnya dengan senyum ramah, membuatku terdiam menatapnya, “Eh, kita naik itu yuk” ajaknya menunjuk biang lala. Seperti biasa dia selalu menarik tanganku, kami pun naik biang lala. Namun, ketika sampai di puncak tba-tiba biang lala pun berhenti mendadak. “Maaf para penumpang, biang lalanya macet, jadi harap sabar diatas” teriak petugas.
            “Kok nangis?” tanyanya melihatku meneteskan sebutir air mata karena kaget.
            “Nggak kok, nggak pa-pa” jawabku.
            Cup..”Tenang aja, disini ada aku. Jadi jangan takut lagi ya” ucapnya memelukku setelah mencium keningku.
            Setelah turun dari biang lala aku hanya terdiam menuju parkiran, sesuatu terjadi barusan tapi apa yang salah? Ciuman itukah?
            “Kok kamu jadi diam gitu sih?” tanyanya.
            “Cuma agak takut sama kamu?” jawabku lirih.
            “Kenapa emang?”
            “Tadi aja kamu nyium keningku, jangan-jangan nanti kamu merkosa aku lagi” sahutku asal, aku memang punya sifat parnoan.
            “Hahaha...ya nggak mungkinlah” jawabnya dengan tawa keras.
            “Terus ngapain kamu nyium aku?”
            Dia terdiam dan tetap berjalan, aku yang bingung hanya berjalan di belakangnya. “Salah ya aku suka sama kamu?” tanyanya yang tiba-tiba berhenti di depanku.
            “Maksud kamu?”
            Dia pun berbalik dan menatapku tajam, kemudian bergerak maju dan memelukku erat “Aku suka kamu” ucapnya lembut dalam pelukan itu, aku tak mengerti yang terjadi tapi aku merasa begitu nyaman sekaligus terkejut dengan pengakuannya, “Aku juga suka kamu” kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku, membuatnya mempererat pelukannya.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright 2009 Ayna’s Island. All rights reserved.
Free WPThemes presented by Leather luggage, Las Vegas Travel coded by EZwpthemes.
Bloggerized by Miss Dothy